“Door Duisternis tot Licht”. Pasti tidak banyak yang mengetahui apa arti istilah tersebut atau mungkin hanya beberapa orang saja yang paham artinya. Namun 4 kata tersebut dapat membuka mata masyarakat Indonesia yang pada saat itu menganggap derajat wanita berada di bawah pria. Sebuah ungkapan yang terinspirasi dari kumpulan surat seorang wanita bangsawan Jawa untuk teman-temannya di Eropa. Seorang wanita yang kini dianggap sebagai ikon emansipasi di Indonesia, R. A. Kartini.
Biografi Kartini menceriterakan sebuah perjuangan untuk lepas dari belenggu derajat yang tidak kasat mata ditengah-tengah penindasan kolonial Belanda pada masa itu. Biografi Kartini juga memaparkan betapa pentingnya sebuah pendidikan bagi seorang individu karena tanpa adanya asupan ilmu, seseorang tidak akan pernah tahu apa-apa. Mari kita simak Biografi Kartini berikut.
Image courtesy of http://klikdokter.com/healthnewstopics/read/2010/04/19/150233/refleksi-kepergian-ibu-kartini-
Biografi Kartini : Awal Mula
Raden Adjeng Kartini atau R. A. Kartini sesungguhnya adalah wanita dari golongan priyayi (kelas bangsawan) Jawa. Kebangsawanannya dapat dirunut dari pihak sang ayah, Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat yang tercatat merupakan keturunan Hamengkubowana VI dan garis keturunan Bupatinya dapat ditilik kembali hingga ke jaman kerajaan Majapahit. Leluhur R. M. A. Sosroningrat sendiri memiliki beberapa jabatan penting di Pangreh Praja. Sedangkan ibunya merupakan putri seorang Kyai di Teluwakur, Jepara.
Lahir dari rahim M. A Ngasirah di Jepara pada tanggal 21 April 1876, Kartini merupakan putri tertua sekaligus anak ke 5 dari 11 bersaudara kandung dan tiri. Perlu diketahui, ayahanda Kartini memiliki dua istri dengan ibunda Kartini sebagai istri pertama namun bukan istri utama. Pasalnya peraturan kolonial saat itu menyatakan bahwa untuk menjadi seorang bupati harus memiliki istri bangsawan. Ayah Kartini mulanya menjabat sebagai wedana (jabatan administratif kepemerintahan di bawah bupati dan di atas camat) di Mayong, sebuah kecamatan di Jawa tengah. Demi mengikuti peraturan yang berlaku, Sosroningrat menikah lagi dengan seorang wanita dari pihak bangsawan karena Ngasirah tidak memiliki darah bangsawan. Wanita yang menjadi ibu tiri Kartini bernama Raden Adjeng Woerjan (Moerjam), keturunan langsung raja Madura. Melalui pernikahan tersebut, Sosroningrat menggantikan posisi bupati Jepara sebelumnya, R. A. A. Tjitriwikromo, yang merupakan ayah kandung R. A. Woerjan sekaligus mertua Sosroningrat.
Image courtesy of http://sweetrabbit.wordpress.com/2008/04/21/hari-kartini-21-april/
Pendidikan sang puteri Jepara
Pendidikan Kartini dimulai sejak usia belia. Pada abad 19 kakeknya, Pangeran Ario Tjondronegoro IV, menjabat bupati dan dikenal pada saat itu sebagai salah satu pejabat pertama yang memberikan pendidikan ala Barat kepada anak-anaknya. Sosrokartono yang merupakan kakak Kartini bahkan pandai dalam bidang bahasa. Pada saat sebayanya tidak bisa baca tulis karena terbatasnya akses pendidikan, Kartini mampu mengenyam pendidikan di ELS (Europese Lagere School), sebuah sekolah setara Sekolah Dasar dengan bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar. Di sinilah Kartini kecil belajar bahasa Belanda. Lama pendidikan di ELS sendiri adalah 7 tahun tapi karena harus menjalani masa pingitan, Kartini terpaksa tinggal di rumah setelah berusia 12 tahun.
Image courtesy of http://www.gojepara.com/
Saat inilah kemampuan Kartini berbahasa Belanda menjadi berguna. Selama menjalani masa pingitan, beliau belajar sendiri dan mulai berkorespodensi dengan teman-temannya yang berasal dari Belanda sedangkan sumber ilmunya saat itu berasal dari buku, koran, dan majalah Eropa. Salah satu hal yang menarik baginya adalah pola pikir perempuan Eropa yang dinilai lebih maju dari para perempuan pribumi. Timbulah hasrat untuk memajukan perempuan Indonesia yang pada saat itu kebanyakan berada pada status sosial rendah. Beberapa sumber bacaan Kartini adalah De Locomotief, koran Semarang yang diasuh oleh seorang sastrawan Belanda yang menganut politik etis, Pieter Brooshoft; De Hollandsche Lelie, majalah wanita Belanda serta paket majalah yang diedarkan toko buku untuk para pelanggannya (leestrommel) yang berisi ilmu pengetahuan serta kebudayaan yang cukup berat. Selain bacaan serius, Kartini juga membaca banyak karya sastra roman bermutu karangan Max Havelaar, Louis Coperus, Van Eeden, Augusta de Witt dan masih banyak lagi.
Image courtesy of Pussisunimed – http://pussisunimed.wordpress.com/category/lain-lain-yang-penting/
Pernikahan R.A. Kartini
Pada usianya yang menginjak 24 tahun, Kartini dijodohkan oleh kedua orang tuanya dengn K. R. M. Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat yang merupakan seorang bupati Rembang dengan tiga istri. Pernikahan tersebut dilaksanakan pada tanggal 12 November 1903. Kerinduannya untuk mendirikan sekolah wanita diutarakan kepada suaminya yang kemudian dikabulkan dengan cara mendirikan sebuah sekolah khusus wanita di sebelah timur gerbang wilayah kantor kabupaten Rembang. Kini bangunan tersebut digunakan sebagai Gedung Pramuka.
Kartini melahirkan putra pertama sekaligus terakhirnya, Soesalit Djojohadiningrat, pada tanggal 13 September 1904. Konon nama Soesalit merupakan singkatan dari “Susah Naliko Alit” (susah waktu kecil) lantaran tidak mengenal ibunya. Kartini meninggal dunia empat hari kemudian setelah melahirkan Soesalit dikarenakan komplikasi saat melahirkan atau pada saat ini disebut preeklamsia. Menurut penuturan abdi dalem yang berada pada saat itu, Kartini meninggal di pangkuan suaminya. Jasadnya dimakamkan di desa Bulu, Kecamatan Bulu sekitar 17 km dari kota Rembang pada tanggal 17 September 1904. Di tempat yang sama kelak disemayamkan pula suami serta anaknya.
Peninggalannya hingga kini
Karena usahanya yang gigih semasa hidup, didirikanlah Sekolah Wanita di Semarang pada tahun 1912 dan disusul di beberapa kota lainnya seperti Surabaya, Yogyakarta, Malang, Madiun, Cirebon dan kota-kota lainnya. Pendirian Sekolah Wanita tersebut diyakini berkat bantuan Yayasan Kartini yang didirikan oleh Van Deventer, salah seorang penganut Politik Etis.
Image courtesy erwin – of http://erwinisasi.files.wordpress.com/
7 tahun setelah wafatnya R.A. Kartini (1911), J. H. Abendanon mengumpulkan surat-surat Kartini yang kemudian dijadikan sebuah buku dalam bahasa Belanda. Abendanon menganggap buah pikiran Kartini cerdas dan sangat maju pada masa itu. Kumpulan surat Kartini kemudian terbit dalam edisi bahasa Inggris dengan judul Letters of a Javanesse Princess. Hingga tahun 1922, Balai Pustaka dan salah seorang sastrawan Pujangga Lama, Armjin Pane, menerbitkan terjemahan bahasa Indonesianya. Buku itu diberi judul: “Habis gelap terbitlah terang”.
Demikianlah artikel Biografi Kartini ini. Perjuangannya memberikan semangat bagi generasi kini terutama kaum wanita Indonesia untuk terus berkarya bagi sesama. Semoga Biografi Kartini ini bermanfaat bagi kita semua.